Beranda | Artikel
Belajar Tentang Makna Ikhlas
Senin, 9 Juni 2014

wpid-2b4395ed0ffd371b0452f5056690c363869c6144

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ikhlas. Mudah untuk diucapkan, namun butuh banyak hal untuk bisa diwujudkan. Diantara faktor utama untuk bisa ikhlas tentu saja adalah dengan taufik dan pertolongan Allah. Tanpa pertolongan-Nya maka sedikit pun ikhlas tak akan pernah menghampiri.

Di samping itu, ikhlas jelas membutuhkan ilmu. Ilmu tentang ikhlas itu sendiri. Betapa banyak orang yang menduga dirinya ikhlas namun ternyata tidak ikhlas. Ilmu tentang ikhlas dipetik dari firman Allah, dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dengan menelaah ucapan para ulama.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi orang yang ikhlas adalah cita-cita dan dambaan setiap muslim.

Setiap muslim dan muslimah tentu tak ingin menjadi orang yang bergelimang dengan syirik dan kekafiran. Tidak ingin dirinya celaka bersama para penghuni neraka. Tidak ingin merugi hidupnya di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, mengenal hakikat ikhlas dan jalan-jalan menuju kesana adalah perkara yang sangat penting baginya.

Namun, sebagaimana dikatakan dalam pepatah, bahwa ‘perahu tidaklah berlayar di atas daratan’. Ya, karena perahu berlayar di atas lautan. Ini artinya, mengharapkan keselamatan dan kebahagiaan tentu menuntut orang agar menempuh jalan dan cara yang benar untuk menggapainya.

Bukan semata angan-angan dan slogan kosong tanpa makna! Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Demikian pula ikhlas. Ikhlas juga tidak bisa diraih hanya dengan mengumbar slogan, memasang spanduk, menempel stiker, mengumpulkan bantuan, menyebar pamflet, menulis artikel, atau berceramah dari mimbar ke mimbar. Ikhlas tidak bisa dibeli dengan angka-angka sedekah dan tumpukan-tumpukan jabatan. Ikhlas tidak bisa dicuri dan dirampas dengan senjata api, senjata berat, ataupun rudal sekalipun. Karena ikhlas itu bersemayam di dalam hati, hidup bersama hidupnya hati.

Sebagaimana perkataan seorang ulama yang sangat populer, “Sesungguhnya surgaku ada di dalam dadaku…” Sebagian mereka juga mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki surga di akhirat.” Ketenangan hidup, ketentraman, kebahagiaan, bersama dengan ikhlas dan ketulusan. Tanpa ikhlas, segala kemewahan dan perhiasan dunia hanya akan menjadi petaka pada hari kebangkitan… Pada hari tiada berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang-orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang selamat…

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada masa-masa semacam ini -yang penuh dengan berbagai bentuk kerusakan dan kerancuan- kebutuhan kita kepada ikhlas pun semakin besar untuk bisa kita wujudkan. Jauh lebih besar daripada kebutuhan kita kepada makanan dan minuman, bahkan lebih besar daripada kebutuhan kita kepada air dan udara. Sebab lenyapnya keikhlasan merupakan malapetaka yang menandai kematian hati seorang hamba, tercabutnya kebahagiaan, dan kegagalan berkelanjutan.

Berbicara tentang ikhlas adalah berbicara tentang pokok agama islam. Berbicara tentang ikhlas adalah berbicara tentang kunci keselamatan. Berbicara tentang ikhlas adalah berbicara tentang sumber kebahagiaan hidup dan kejayaan. Oleh sebab itu, para ulama kita selalu mengingatkan tentangnya, memperingatkan akan bahaya-bahaya yang bisa merusak dan mencabut keikhlasan dari dasar-dasarnya. Pantaslah bagi kita semua, untuk haus akan wejangan, nasihat, dan bimbingan mereka dalam upaya merealisasikan ikhlas di dalam diri kita. Karena kita memang sangat membutuhkannya.

Ayat-Ayat Tentang Ikhlas

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi-Nya agama -amalan- dengan hanif/menjauhi syirik, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’ : 36)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih, dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).

Hadits-Hadits Tentang Ikhlas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Penjelasan Ulama Tentang Ikhlas

Di dalam bukunya yang sudah sangat masyhur, yaitu Riyadhush Shalihin, Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab di awal kitabnya dengan judul :

Bab. Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Seluruh Perbuatan, Ucapan, dan Keadaan; Baik Yang Tampak/Jelas Maupun Yang Tersembunyi/Samar.

Kemudian, diantara ayat yang beliau bawakan adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya agama [amalan] dengan cara yang hanif/menjauhi syirik…” (QS. Al-Bayyinah : 5)

Demikian pula, firman Allah (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya ataupun darah-darahnya. Akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. Al-Hajj : 37)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian menyembunyikan apa-apa yang ada di dalam dada kalian, atau kalian menampakkannya maka Allah pasti mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran : 29)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah di dalam Ahkam Min al-Qur’an al-Karim menerangkan, bahwa dari ayat ‘Iyyaka na’budu’ -hanya kepada-Mu kami beribadah- yang ada di dalam surat al-Fatihah, di dalamnya terkandung nilai keikhlasan dalam beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla (lihat Ahkam, hal. 23)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya menerangkan, bahwa di dalam kalimat ‘Iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian/keikhlasan dalam beragama yaitu mengikhlaskan ibadah dan isti’anah/memohon pertolongan kepada Allah semata (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40)

Di dalamnya kitabnya, at-Taudhih wal Bayan li Syajarah al-Iman, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bahwa seluruh amalan dan ucapan hanya akan menjadi benar dan sempurna selaras dengan iman dan ikhlas yang ada di dalam hati pelakunya.” (lihat buku tersebut, hal. 73)

Diantara dalil yang beliau sebutkan adalah kedua ayat di bawah ini :

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (QS. Az-Zumar : 65)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka melakukan syirik pastilah akan terhapus segala amal yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam : 88)

Bahkan, puncak keimanan yaitu ucapan laa ilaha illallah tidaklah bermanfaat jika tidak dibarengi dengan keikhlasan. Sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah haramkan neraka untuk menyentuh orang yang mengucapkan laa ilaha illallah demi mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa maksud dari ungkapan ‘mengharap wajah Allah’ adalah dia mengucapkan syahadat itu dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, bukan karena riya’, sum’ah, atau pun kemunafikan (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 97)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61)

Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)

Oleh sebab itu kita juga mengenal bahwasanya para ulama menyebut kalimat tauhid laa ilaha illallah dengan istilah kalimatul ikhlas. Karena di dalam kalimat tauhid ini terkandung ajaran untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata, dan mencampakkan segala peribadatan kepada selain-Nya.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kalimat -syahadat- ini memiliki nama-nama lain, diantaranya ia disebut dengan kalimatul ikhlas. Karena ia mengandung penolakan syirik kepada Allah ‘azza wa jalla serta keharusan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla semata. Oleh sebab itulah ia disebut dengan kalimatul ikhlas. Maksudnya adalah mengikhlaskan/memurnikan tauhid dan memurnikan ibadah serta menjauhi syirik kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Syarah Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 6)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/kembali-belajar-tentang-makna-ikhlas/